Senin, 02 Januari 2017


Papua, Indonesia dan Amerika dengan Belanda





Buku  karya Nicolaas Jouwe bertajuk : Kembali ke Indonesia : Langkah, Pemikiran dan Keinginan ini berkisah tentang seorang pria berusia 89 tahun, yang dulunya merupakan salah satu pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Sisi menarik dari buku ini, adalah pertemuan Jouwe dengan Kennedy pada 1962, yang kita tahu Kennedy bersepakat dengan Bung Karno agar Belanda secepatnya melepas Papua kembali ke tangan Indonesia.

Menurut pengakuan Jouwe, pertemuan dengan Kennedy inilah yang kelak jadi salah satu pertimbangan mengapa akhirnya memutuskan kembali bergabung dengan NKRI.

Yang mengesankan Jouwe adalah, Kennedy bertanya apakah Jouwe tahu tentang sejarah Papua dan sudah berapa lama Jouwe tahu Papua masuk dalam orbit koloni Belanda. Dan dengan lugunya Jouwe menjawab, tidak tahu. Karena yang Jouwe tahu melalui sejarah yang dia pelajari di sekolahnya, lebih banyak tentang sejarah Belanda, tentang geografinya Belanda, berapa banyak sungainya dan gunung yang ada di Belanda. Tapi sejarah Papua itu sendiri Jouwe mengaku terus terang kepada Kennedy tidak tahu.
Nicolaas Jouwe, mantan pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM),  

Di sinilah aspek menarik dari Kisah Jouwe ketika bertemu Presiden Kennedy. Kennedy justru yang memberitahu Jouwe bahwa itulah politik kolonial Belanda. Mengapa sejarah Papua itu sendiri tidak diberitahukan kepada masyarakat Papua? Karena Belanda tahu Papua itu sangat kaya akan emas, perak dan tembaga.

“Belanda tidak mau orang dari luar masuk ke situ. Belanda ingin menjaga agar orang dari luar tidak masuk ke Papua untuk menguasai Papua,” begitu kata Kennedy kepada Jouwe.

Bahkan Kennedy juga mengatakan bahwa Pemerintah Belanda mempropagandakan bahwa Pulau Papua penuh dengan berbagai macam penyakit berbahaya seperti malaria dan lain-lain. Belanda bahkan menakut-nakuti bahwa barangsiapa datang ke Papua pasti akan mengalami kematian. Singkat cerita, Belanda lakukan propaganda macam itu agar orang tidak berani berkunjung ke Papua.

Dari kisah tersebut tersirat memang Kennedy sepenuhnya mendukung integrasi Papua kepada Indonesia. Dan pertemuan Jouwe dengan Kennedy ketika itu, justru dalam rangka membujuk Jouwe agar setuju Papua jadi bagian dari Indonesia.

Bisa dimengerti jika pertemuan dengan Kennedy tersebut bersifat rahasia, karena Jouwe ketika itu dalam kapasitas sebagai penasehat dan anggota Kerajaan Belanda dalam perundingan Belanda dan Indonesia. Sehingga posisi resmi Jouwe justru berada di pihak kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
John F Kennedy (Presiden Amerika Serikat) dan Soekarno (Presiden Indonesia)

Jika kita amati saat ini, tak pelak merupakan ironi sejarah. Kennedy, Presiden Amerika justru berada satu haluan dengan Bung Karno dan pemerintah Indonesia yang dalam periode 1960-1963 justru sedang gencar-gencarnya memperjuangkan kembalinya Papua ke tangan Indonesia. Sedangkan Jouwe yang notabene putra Papua, malah mendukung Belanda, dan setuju bujukan Belanda untuk mewacanakan Papua Merdeka sebagai kontra isu terhadap perjuangan Indonesia merebut Papua atau Irian Barat.

Dalam buku tangan-tangan Amerika, karya Hendrajit dan kawan-kawan, terungkap bahwa keputusan Kennedy menekan Belanda agar melepas Papua, pada akhirnya memicu kemarahan para pengusaha tambang di Amerika yang dikuasai oleh dinasti Rockefeller, karena lepasnya Belanda dari Papua, telah mengacaukan semua rencana-rencana bisnis jangka panjang pengusaha-pengusaha Tambang Amerika, Inggris dan Belanda yang sudah disiapkan saat itu.

Sehingga Kennedy dan Bung Karno, praktis sejak saat itu dinyatakan sebagai musuh bersama yang harus disingkirkan. Ketika Kennedy tewas terbunuh di Dallas, Texas, pada 1963, Presiden Lyndon B Johnson yang menggantikan Kennedy, menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih bermusuhan terhadap pemerintahan Bung Karno.

Penggalan kisah pertemuan dan percakapan Nicolaas Jouwe bersama Kennedy, semakin memperkuat berbagai studi sejarah sebelumnya yang menyatakan bahwa Kennedy memang sepenuhnya mendukung lepasnya Papua dari Belanda, dan mengembalikannya kepada Indonesia.
New York Agreement (15 Agustus 1962)

Terbukti bahwa pertemuan bersama Kennedy tersebut dilangsungkan setelah Perjanjian Belanda dan Indonesia ditandatangani di New York 15 Agustus 1962 mengenai Papua Barat. Sedangkan pertemuan Jouwe dengan Kennedy berlangsung pada 16 September 1962.

Namun Jouwe sejak 1961, jadi setahun sebelum bertemu Kennedy pada 1962, praktis sudah bermukim di Belanda. Hanya karena dijanjikan jadi presiden Papua, Jouwe malah ikut merintis terbentuknya OPM, seraya tetap menjadi Pejabat Negara Pemerintahan Belanda, dan menjadi perutusan pemerintahan Kerajaan Belanda ke Amerika untuk menghadiri sidang-sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa mewakili Pemerintahan Belanda.

Menurut pandangan Jouwe yang tidak dipahami anak-anak Muda Papua sekarang, Papua sejatinya sudah masuk Indonesia secara resmi melalui New York Agreement pada 15 Agustus 1962 di mana dinyatakan bahwa Belanda harus serahkan West Papua kepada Indonesia.

Dengan demikian, niat baik Jouwe untuk bertemu masyarakat Papua dan menjelaskan sejarah ini, patut kita beri apresiasi yang setinggi-tingginya. Karena secara gamblang Jouwe mengatakan, hanya melalui cara inilah penderitaan masyarakat Papua akibat hasutan kelompok tertentu dapat segera diakhiri.



Artikel asli

5 komentar:

Titus murieb mengatakan...

PAPUA adalah bagian dari NKRI

Titus kagoya mengatakan...

Rakyat papua harus cerdas menilai dan mempelajari betul apa itu sejarah...sehingga tidak menelan mentah arti dari cerita sejarah oleh pihak yg tidak bertanggung jawab

Delince Magai mengatakan...

Kisah Jouwe menunjukan beliau cinta kepada NKRI

Allen halitopo mengatakan...

Jouwe patut menjadi inspirasi anak anak papua untuk membangun papua lebih baik

Eranus wakatopi mengatakan...

Setuju...saya setuju
JOUEWE bisa menjadi inspirasi anak anak papua....